Rabu, 09 Maret 2016

"Diam" dalam Pandangan Islam


Ada saatnya seorang harus diam, sebagai bentuk aplikasi terhadap sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam seperti termaktub di dalam shahih al-Bukhori dan shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah –radhiallahu’anhu- ia menuturkan : Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
dir=”rtl”من كان يؤمن بالله و اليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka bertuturlah yang baik atau hendaknya diam
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga menuturkan sebagaimana dalam hadits hasan riwayat Ahmad dalam musnad 3/158, 177 :
dir=”rtl”من صمت نجا
Barangsiapa yang diam ia selamat
Sedikit bicara adalah termasuk adab mulia saat tindakan banyak berbicara menjerumuskan kepada suatu yang tidak memberikan kemanfaatan. Diam, itulah bahkan pilihan yang terbaik.
Apakah tidak boleh bicara ?. bukan mutlak demikian itu juga yang dimaksudkan. Ada saatnya untuk berbicara, bahkan harus berbicara. Kapan? Rasulullah telah membimbing kita  dalam sabdanya : Maka bertuturlah yang baik. Ini adalah perintah Rasul yang tidaklah keluar dari lisannya kecuali Al-haq. Kontek perintah dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberikan pengertian wajib, ketika tidak terdapat perkara yang memalingkan kepada perkara bukan keharusan.
Saat berdakwah, saat memberikan nasehat, adalah saat-saat seseorang harus berbicara, lebih umum dari pada itu bertutur-kata yang baik dan ketika tutur-kata tersebut jelas kemaslahatannya.
Sebagaimana perintah Allah Ta’aala di dalam firmanNya :
dir=”rtl”وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.  ( Al-Israa’ 53 )
Demikian juga di dalam firman Allah Ta’aala :
dir=”rtl”
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
dir=”rtl”وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia.
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (Fushshilat : 34-35)
Kembali kepada judul bab : Saatnya Diam.  Memang terkadang saatnya diam lebih utama, saatnya diam lebih layak, saatnya diam lebih memberikan kemashlahatan. Kapan?
al-Qur’an telah menggambarkan hal tersebut berkaitan dengan kisah Maryam –‘alaihas salam- ketika mengandung nabi Isa. Allah Ta’aala memerintahkan kepada Maryam, sebagaimana FirmanNya :
dir=”rtl”
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (Maryam : 26)
Kenapa Allah memerintahkan saat tersebut kepada Maryam untuk tidak berbicara kepada seorangpun? Karena keadaan manusia ketika itu akan mengingkari Maryam berkaitan dengan kehamilan, melahirkan dan datangnya bayi nabi Isa –‘alaihis sallam-. Sebesar apapun alasan yang dikemukakan oleh Maryam maka di saat tersebut manusia tidak akan menerima alasannya. Sehingga mengharuskan untuk diam karena tidak ada kemanfaatan di saat itu untuk mengemukakan udzur atau alasan sekalipun. Dan Allah Ta’aala menetapkan dan memiliki hikmah yang lain atas perintah tersebut. Di antaranya adalah suatu mu’jizat yaitu Nabi Isa –‘alaihis sallam- diberikan kemampuan Allah Ta’aala untuk berbicara di saat masih bayi.
Demikian pula terdapat kisah yang dialami oleh ibunda kaum mukminin Ummu ‘Abdillah ‘Aisyah –radhiallahu’nha- sebagaimana disebutkan dalam hadits al-Bukhori pada nomor 4750 Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah :
Amma ba’du, wahai Aisyah , sesungguhnya telah sampai kepadaku berita demikian dan demikian, sungguh jika engkau terlepas dari hal itu karena tidak melakukannya, semoga Allah ‘Azza wa jalla menjauhkanmu. Adapun jika kamu melakukan dosa tersebut, mnta ampunlah kepada Allah dan bertubatlah kepadaNya, karena seorang yang mengakui dosanya kemudian bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Aisyah berkata : Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam selesai berkata, air mataku semakin deras mengalir hingga tidak terasa lagi tetesan air mata tersebut. Maka saya berkata kepada ayahku : “ Jawablah apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengenai diriku. Ayahkupun berkata : “Saya tidak tahu, demi Allah saya tidak akan berbicara kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu saya berkata kepada ibuku : “ Jawablah kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengenai diriku “. Ibuku berkata ; “Demi Allah, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. ‘Aisyah berkata : “Saya adalah seorang gadis kecil usianya, saya tidak banyak membaca Al-Qur’an. Demi Allah, sungguh aku mengetahui engkau telah mendengar hal ini hingga kamu merasa mantap dan percaya terhadap hal tersebut. Bilapun aku katakan kepada kalian bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut dan Allah ‘Azza wa jalla Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut, kalian juga tidak akan percaya terhadap  hal itu. Jika saya mengaku kepada kalian dengan suatu perkara sedang Allah ‘Azza Wa jalla Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut, sungguh kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, sungguh tidak ada perkataan antara diriku dengan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf sebagaimana dalam Firman Allah  :
dir=”rtl” فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
 Maka kesabaran yang baik Itulah  kesabaranku  dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (Yusuf : 18).
Dalam hadits di atas, keadaan tersebut menjadikan Aisyah menahan diri untuk berbicara, kecuali ucapan yang mengandung faedah.
Demikian juga di saat suatu perkataan itu adalah tanpa ilmu, maka keadaan tersebut menahan seseorang untuk berbicara. Diam di saat tersebut lebih baik, atau saatnya untuk diam.
Allah Ta’aala berfirman :
dir=”rtl”وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (al-Israa’ : 36 )
Dan firman Allah Ta’aala :
dir=”rtl”إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ
Dan ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An-Nuur : 15)
Dan Firman Allah Ta’aala :
dir=”rtl”يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
 Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui”. (Al-A’raaf : 187).
Saatnya untuk diam.
Selain dari pada itu masih banyak keadaan-keadaan yang menuntut untuk kita menahan lisan, secara umum adalah di saat kita dituntut untuk berbicara dan jelas kemashlahatannya maka di saat tersebut, saatnya berbicara. Akan tetapi ketika kita tidak bisa berbicara yang baik, maka ‘saatnya untuk diam’.
Wallahu Ta’aala A’lam bish-shawab.

"Diam" dalam Pandangan Islam Rating: 4.5 Diposkan Oleh: jelajahpemikir

0 komentar:

Posting Komentar