PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2008
TENTANG
KECAMATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat
(1) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
perlu memberikan pedoman dalam pembentukan dan penyelenggaraan urusan
pemerintahan di kecamatan;
b. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Kecamatan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4548);
3. Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah
Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesig Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4737);
4. Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara
Republi Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 4741);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KECAMATAN.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah
Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3. Pemerintah
Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Kecamatan
atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat daerah
kabupaten/kota.
6. Pembentukan
kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai kecamatan di
kabupaten/kota.
7. Penghapusan
kecamatan adalah pencabutan status sebagai kecamatan di wilayah kabupaten/kota.
8. Penggabungan
kecamatan adalah penyatuan kecamatan yang dihapus kepada kecamatan lain.
9. Camat
atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan
di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh
pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani
sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.
BAB II
PEMBENTUKAN
Pasal 2
(1) Kecamatan dibentuk di
wilayah kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan
Pemerinta ini,
(2) Pembentukan Kecamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemekaran 1 (satu) kecamatan
menjadi 2 (dua) kecamatan atau lebih, dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau
kelurahan dari beberapa kecamatan.
Pasal 3
Pembentukan
Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Pasal 4
Syarat
administratif pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
meliputi:
a. Batas usia
penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima)
tahun;
b. Batas usia
penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang akan dibentuk menjadi
kecamatan minimal 5 (lima) tahun;
c. Keputusan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa dan Forum Komunikasi
Kelurahan atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamata baik yang
menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang
persetujuan pembentukan kecamatan;
d. Keputusan Kepala Desa
atau nama lain untuk desa dan Keputusan Lurah atau nama lain untuk kelurahan di
seluruh wilayah kecamatan baik yang akan menjadi cakupan wilayah kecamatan baru
maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan kecamatan;
e. Rekomendasi Gubernur.
Pasal 5
Syarat
fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi cakupan wilayah,
lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Pasal 6
(1) Cakupan
wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk daerah kabupaten paling
sedikit terdiri atas 10 desa/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit
terdiri atas 5 desa/kelurahan.
(2) Lokasi
calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 memperhatikan aspek tata
ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis,
kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
(3) Sarana
dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi bangunan
dan lahan untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Pasal 7
(1) Persyaratan
teknis sebagaimana dimakaud dalam Pasal 3 meliputi:
a. jumlah penduduk;
b. luas wilayah;
c. rentang kendali
penyelenggaraan pelayanan pemerintahan;
d. aktivitas perekonomian;
e. ketersediaan sarana dan
prasarana.
(2) Persyaratan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian yang
dilakukan pemerintah kabupaten/kota sesuai indikator sebagaimana tercantum
dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 8
(1) Pemerintah kabupaten/kota
dapat membentuk kecamatan di wilayah yang mencakup satu atau lebih pulau, yang
persyaratannya dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dengan pertimbangan untuk efektifitas pelayanan dan pemberdayaan masyarakat di
pulau-pulau terpencil dan/ atau terluar.
(2) Pembentukan
kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah.
Pasal 9
(1) Pemerintah
dapat menugaskan kepada pemerintah kabupaten/kota tertentu melalui gubernur
selaku wakil Pemerintah untuk membentuk kecamatan dengan mengecualikan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Pembentukan
kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pertimbangan kepentingan
nasional dan penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.
Pasal 10
(1) Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama kecamatan;
b. nama ibukota kecamatan;
c. batas wilayah kecamatan;
dan
d. nama desa dan /atau
kelurahan.
(2) Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri peta kecamatan dengan batas
wilayahnya sesuai kaidah teknis dan memuat titik koordinat.
Pasal 11
Perubahan
nama dan/ atau pemindahan ibukota kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah
kabupaten/kota.
BAB III
PENGHAPUSAN
DAN PENGGABUNGAN
Pasal 12
(1) Kecamatan dihapus
apabila:
a. jumlah
penduduk berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih dari penduduk yang
ada; dan/atau
b. cakupan
wilayah berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih dari jumlah
desa/kelurahan yang ada.
(2) Kecamatan yang dihapus,
wilayahnya digabungkan dengan kecamatan yang bersandingan setelah dilakukan
pengkajian.
Pasal 13
Penghapusan
dan penggabungan kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BAB IV
KEDUDUKAN,
TUGAS, DAN WEWENANG
Pasal 14
(1) Kecamatan
merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan
yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat.
(2) Camat berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.
Pasal 15
(1) Camat
menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:
a. mengoordinasikan
kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b. mengoordinasikan upaya
penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
c. mengoordinasikan
penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
d. mengoordinasikan
pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
- mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
- membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan
- melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
(2) Selain
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Camat melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian
urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek:
a. perizinan;
b. rekomendasi;
c. koordinasi;
d. pembinaan;
e. pengawasan;
f. fasilitasi;
g. penetapan;
h. penyelenggaraan;
dan
i. kewenangan
lain yang dilimpahkan.
(3) Pelaksanaan
kewenangan camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup penyelenggaraan
urusan pemerintahan pada lingkup kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan.
(4) Pelimpahan
sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Bupati/Walikota berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 16
Tugas
Camat dalam mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, meliputi:
a.
mendorong partisipasi masyarakat
untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan lingkup kecamatan dalam forum
musyawarah perencanaan pembangunan di desa/kelurahan dan kecamatan;
b. melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik pemerintah maupun
swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan pemberdayaan masyarakat di
wilayah kerja kecamatan;
c. melakukan
evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah
kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta;
d. melakukan tugas-tugas
lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
e. melaporkan pelaksanaan
tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan kepada bupati/walikota
dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan
pemberdayaan masyarakat.
Pasal 17
Tugas
Camat dalam mengoordinasikan upaya peyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. melakukan koordinasi
dengan kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia
mengenai program dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum
di wilayah kecamatan;
b. melakukan koordinasi
dengan pemuka agama yang berada di wilayah kerja kecamatan untuk mewujudkan
ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat di wilayah kecamatan; dan
c. melaporkan pelaksanaan
pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada bupati/ walikota.
Pasal 18
Tugas
Camat dalam mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c,
meliputi:
a. melakukan
koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di
bidang penerapan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan
koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di
bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia; dan
c. melaporkah
pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di wilayah
kecamatan kepada bupati/walikota.
Pasal 19
Tugas
Camat dalam mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d, meliputi:
a. melakukan koordinasi
dengan satuan kerja perangkat daerah dan/atau instansi vertikal yang tugas dan
fungsinya di bidang pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
b. melakukan koordinasi
dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan
c. melaporkan pelaksanaan
pemeliharaan prasarana dan fasilitas
pelayanan umum di wilayah kecamatan
kepada bupati/walikota.
Pasal 20
Tugas
Camat dalam mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e, meliputi:
a. melakukan
koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
b. melakukan koordinasi dan
sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi
vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
c. melakukan evaluasi
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; dan
d. melaporkan
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan kepada
bupati/walikota.
Pasal 21
Tugas
Camat dalam membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f, meliputi:
a.
melakukan pembinaan dan
pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
b.
memberikan bimbingan, supervisi,
fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi desa dan/atau kelurahan;
c.
melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap kepala desa dan/atau lurah;
d.
melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan;
e.
melakukan evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan; dan
f.
melaporkan pelaksanaan pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat
kecamatan kepada bupati/walikota.
Pasal 22
Tugas
Camat dalam melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau
kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf g, meliputi:
a. melakukan perencanaan
kegiatan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
b. melakukan percepatan
pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya;
c. melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di
kecamatan;
d. melakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan;
e. melaporkan pelaksanaan
kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan kepada
Bupati/Walikota.
BAB V
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 23
(1) Organisasi
kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksi, dan
sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.
(2) Seksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. seksi tata pemerintahan;
b. seksi pemberdayaan
masyarakat dan desa; dan
c. seksi ketenteraman dan
ketertiban umum.
(3) Pedoman organisasi kecamatan ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
BAB VI
PERSYARATAN CAMAT
Pasal 24
Camat diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah
kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis
pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 25
Pengetahuan teknis pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 meliputi:
a. menguasai
bidang ilmu pemerintahan dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana pemerintahan;
dan
b. pernah
bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun.
Pasal
26
(1) Pegawai
negeri sipil yang akan diangkat menjadi Camat dan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mengikuti pendidikan teknis
pemerintahan yang dibuktikan dengan sertifikat.
(2) Pelaksanaan
pendidikan teknis pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
BAB VII
TATA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 27
(1) Camat
melakukan koordinasi dengan kecamatan disekitarnya.
(2) Camat
mengoordinasikan unit kerja di wilayah kerja kecamatan dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja kecamatan.
(3) Camat
melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan
pemerintah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di
kecamatan.
Pasal 28
(1) Hubungan
kerja kecamatan dengan perangkat daerah kabupaten/kota bersifat koordinasi
teknis fungsional dan teknis operasional.
(2) Hubungan
kerja kecamatan dengan instansi vertikal di wilayah kerjanya, bersifat
koordinasi teknis fungsional.
(3) Hubungan
kerja kecamatan dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, dan
organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kerja kecamatan bersifat
koordinasi dan fasilitasi.
BAB VIII
PERENCANAAN KECAMATAN
Pasal 29
(1) Dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, disusun perencanaan
pembangunan sebagai kelanjutan dari hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Desa/Kelurahan.
(2) Perencanaan
pembangunan kecamatan merupakan bagian dari perencanaan pembangunan
kabupaten/kota.
(3) Perencanaan
pembangunan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan secara partisipatif.
(4) Mekanisme
penyusunan rencana pembangunan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 30
(1) Kecamatan sebagai satuan kerja perangkat
daerah menyusun rencana anggaran satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Rencana anggaran satuan
kerja perangkat daerah kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
berdasarkan rencana kerja kecamatan.
(3) Rencana kerja kecamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan rencana strategis
kecamatan.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 31
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan
Kecamatan dilaksanakan oleh bupati/walikota sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 32
(1) Setiap tahun pemerintah kabupaten/kota melakukan evaluasi terhadap
kinerja kecamatan yang mencakup:
a. penyelenggaraan
sebagian wewenang bupati/walikota yang dilimpahkan
untuk melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah;
b.
penyelenggaraan tugas umum
pemerintahan; dan
c.
penyelenggaraan tugas lainnya
yang ditugaskan kepada camat.
(2) Hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh bupati/walikota kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri
Dalam Negeri.
(3) Pelaksanaan
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
BAB X
PENDANAAN
Pasal 33
Pendanaan
tugas camat dalam penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pelaksanaan
sebagian wewenang bupati/walikota yang dilimpahkan bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
Pasal 34
Pembentukan, penghapusan dan penggabungan
kecamatan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten/kota.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 35
Pengaturan kecamatan di Pemerintahan Aceh, Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur
daerah bersangkutan.
Pasal 36
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pakaian dinas, tanda pangkat, dan tanda jabatan camat
diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
Pada
saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pegawai negeri sipil yang telah
diangkat sebagai camat dan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintahan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
38
Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia,
Ditetapkan
di Jakarta
pada
tanggal 28 Februari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Februari
2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 40
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
19 TAHUN 2008
TENTANG
KECAMATAN
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten/kota atau antara pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. Selain itu Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan
pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Prinsip penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi
seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengurus
semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan,
peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas
kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan
pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah
lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk
mempercepat laju pembangunan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi
daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan,
tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah
dalam kerangka asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah
dalam kerangka asas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, Camat dalam
menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan kewenangan dari dan bertanggung jawab
kepada bupati/walikota.
Pengaturan penyelenggaraan kecamatan baik dari sisi pembentukan,
kedudukan, tugas dan fungsinya secara legalistik diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Sebagai perangkat daerah, Camat mendapatkan pelimpahan kewenangan
yang bermakna urusan pelayanan masyarakat. Selain itu kecamatan juga akan
mengemban penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan.
Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan
dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah
kabupaten/kota. Pertanggungjawaban Camat kepada bupati/walikota melalui
sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban administratif. Pengertian melalui
bukan berarti Camat merupakan bawahan langsung Sekretaris Daerah, karena secara
struktural Camat berada langsung di bawah bupati/walikota.
Camat juga berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun
tidak memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan), karena melaksanakan tugas
umum pemerintahan di wilayah kecamatan, khususnya tugas-tugas atributif dalam
bidang koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah
kecamatan, penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban, penegakan peraturan
perundang-undangan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau
kelurahan, serta pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan
oleh pemerintahan desa/kelurahan dan/atau instansi pemerintah lainnya di wilayah
kecamatan. Oleh karena itu, kedudukan camat berbeda dengan kepala instansi pemerintahan lainnya di kecamatan, karena penyelenggaraan tugas instansi pemerintahan lainnya di
kecamatan harus berada dalam koordinasi Camat.
Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan
dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok dan
fungsinya untuk mendukung pelaksanaan asas desentralisasi. Kekhususan tersebut
yaitu adanya suatu kewajiban mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan
stabilitas dalam dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya
ketenteraman dan ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat
serta masyarakat dalam kerangka membangun integritas kesatuan wilayah. Dalam
hal ini, fungsi utama camat selain mernberikan pelayanan kepada masyarakat,
juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah.
Secara
filosofis, kecamatan yang dipimpin oleh Camat perlu diperkuat dari aspek sarana
prasarana, sistem administrasi, keuangan dan kewenangan bidang pemerintahan
dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan
kewilayahan yang memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan
kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. Sehubungan
dengan itu, Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari 2 (dua) sumber
yakni: pertama, bidang kewenangan dalam lingkup tugas umum pemerintahan; dan
kedua, kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan
demikian, peran Camat dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih sebagai pemberi
makna pemerintahan di wilayah kecamatan, Atas dasar pertimbangan demikian, maka
Camat secara filosofis pemerintahan dipandang masih relevan untuk menggunakan
tanda jabatan khusus sebagai perpanjangan tangan dari bupati/walikota di
wilayah kerjanya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Kajian pembentukan kecamatan dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota dengan melibatkan unsur perguruan tinggi negeri terdekat yang
ada di kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Permohonan persetujuan diajukan oleh bupati/walikota kepada
gubernur sebelum penyusunan rancangan peraturan daerah tentang pembentukan
kecamatan dimaksud.
Pasal 9
Cukup
jelas.
Pasal 10
Ayat
(1)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
ibukota kecamatan adalah
pusat penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Lampiran
peta digambarkan dengan skala 1:50.000.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal
12
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Kajian penghapusan dan/atau penggabungan kecamatan dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota dengan melibatkan perguruan tinggi negeri terdekat
yang ada di kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan.
Pasal 13
Cukup
jelas.
Pasal 14
Cukup
jelas.
Pasal 15
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan antara lain Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan "eksternalitas" adalah kriteria pelimpahan urusan
pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan
bersifat internal kecamatan, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan camat.
Yang
dimaksud dengan "efisiensi" adalah kriteria pelimpahan urusan
pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan dilingkup kecamatan. Apabila urusan
pemerintahan lebih berdayaguna ditangani oleh kecamatan, maka urusan tersebut
menjadi kewenangan camat.
Ayat
(5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup
jelas,
Pasal 17
Cukup
jelas.
Pasal 18
Cukup
jelas.
Pasal 19
Cukup
jelas.
Pasal 20
Cukup
jelas.
Pasal 21
Cukup
jelas.
Pasal 22
Cukup
jelas,
Pasal 23
Cukup
jelas.
Pasal 24
Cukup
jelas.
Pasal 25
Cukup
jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Koordinasi yang dilakukan oleh camat adalah untuk mencapa
keserasian, keselarasan, keseimbangan, sinkronisasi, dan integras keseluruhan
kegiatan pemerintahan yang diselenggarakan d kecamatan, guna mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahar kecamatan yang efektif dan efisien.
Pasal 28
Koordinasi
dimaksud dapat berbentuk rapat koordinasi, permintaan, penyampaian data,
pemberian informasi, konsultasi, dan bentul lainnya.
Pasal 29
Cukup
jelas.
Pasal 30
Cukup
jelas.
Pasal 31
Cukup
jelas.
Pasal 32
Cukup
jelas.
Pasal 33
Cukup
jelas.
Pasal 34
Cukup
jelas.
Pasal 35
Cukup
jelas.
Pasal 36
Cukup
jelas.
Pasal
37
Cukup jelas.
Pasal
38
Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4826
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 19 Tahun 2008
TANGGAL : 28 Februari 2008
PENILAIAN SYARAT TEKNIS
I. FAKTOR DAN
INDIKATOR PEMBENTUKAN KECAMATAN
FAKTOR
|
INDIKATOR
|
1. Penduduk
|
1. Jumlah Penduduk
|
2. Luas Daerah
|
2. Luas wilayah keseluruhan
3. Luas wilayah efektif yang dapat
dimanfaatkan
|
3. Rentang Kendali
|
4. Rata-rata jarak desa
ke pusat pemerintahan kecamatan
5. Rata-rata waktu
perjalanan ke pusat pemerintahan kecamatan
|
4. Aktivitas Perekonomian
|
6. Jumlah bank
7. Lembaga keuangan non
bank
8. Kelompok pertokoan
9. Jumlah Pasar
|
5. Ketersediaan Sarana dan Prasarana
|
10. Rasio Sekolah Dasar
per penduduk usia Sekolah Dasar
11. Rasio Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama per
penduduk usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
12. Rasio Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas per penduduk usia Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
13. Rasio tenaga medis
per penduduk
14. Rasio fasilitas
kesehatan per pendudut
15. Persentase rumah
tangga yang mempunyai
kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor
16. Persentase pelanggan
listrik terhadap jumlah rumah tangga
17. Rasio panjang jalan
terhadap jumlah kendaraan bermotor
18. Rasio sarana
peribadatan per penduduk
19.
Rasio fasilitas lapangan
olahraga per penduduk
20.
Jumlah balai pertemuan
|
II. CARA PENGHITUNGAN INDIKATOR
1. Jumlah Penduduk:
Semua orang yang berdomisili di suatu daerah selama 6 (enam) bulan
atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 (enam) bulan tetapi
bertujuan menetap.
2. Luas Daerah/Wilayah Keseluruhan:
Jumlah
luas daratan ditambah luas lautan
3. Wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan:
Wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budi daya di luar
kawasan lindung.
4. Rata-rata jarak ke pusat pemerintahan
kecamatan:
Jumlah jarak dari desa/kelurahan ke pusat pemerintahan kecamatan
dibagi jumlah desa/kelurahan.
5. Rata-rata waktu
perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan:
Jumlah waktu perjalanan dari desa/kelurahan ke pusat pemerintahan
kecamatan dibagi jumlah desa/kelurahan
6. Jumlah Bank:
Jumlah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
7.
Lembaga Keuangan Non Bank:
Jumlah badan usaha selain bank, meliputi asuransi, pegadaian, dan
koperasi.
8. Kelompok Pertokoan:
Sejumlah
toko yang terdiri atas paling sedikit 10 (sepuluh) toko dar mengelompok. Dalam
satu kelompok pertokoan bangunan fisiknya dapat lebih dari satu.
9. Jumlah Pasar:
Prasarana
fisik yang khusus dibangun untuk tempat pertemuan antara penjual dan pembeli
barang dan jasa, yang aktivitasnya rutin dilakukan setiap hari.
10. Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia Sekolah
Dasar:
Jumlah
Sekolah Dasar dibagi jumlah penduduk usia 7-12 tahun.
11. Rasio Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama per penduduk usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama:
Jumlah
sekolah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dibagi jumlah penduduk usia 13-15
tahun.
12. Rasio Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas per penduduk usia Sekolah Lanjutan Tingkat Atas:
Jumlah
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dibagi jumlah penduduk usia 16-18 tahun.
13. Rasio tenaga medis per penduduk:
Jumlah
dokter, perawat, dan mantri kesehatan dibagi jumlah penduduk
14. Rasio fasilitas kesehatan per penduduk:
Jumlah
rumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik baik negeri maupun swasta dibagi
jumlah penduduk:
15. Persentase rumah tangga yang mempunyai
kendaraan bermotor atau perahu atau
perahu motor atau kapal motor:
Jumlah
rumah tangga yang mernpunyai kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor
atau kapal motor dibagi dengan jumlah rumah tangga dikali 100.
16. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah
rumah tangga:
Jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik PLN dan Non PLN
dibagi jumlah rumah tangga dikali 100.
17. Rasio
panjangjalan terhadap jumlah kendaraan bermotor:
Jumlah panjangjalan dibagi jumlah kendaraan bermotor.
18. Rasio sarana Peribadatan per penduduk:
Jumlah
masjid, gereja, pura, vihara dibagi jumlah penduduk.
19. Rasio fasilitas lapangan olah raga per
penduduk:
Jumlah lapangan bulu tangkis, sepak
bola, bola volly, dan
kolam renang dibagi jumlah penduduk.
20. Balai Pertemuan:
Tempat (gedung) yang digunakan untuk pertemuan masyarakat
melakukan berbagai kegiatan interaksi sosial.
III. METODE PENILAIAN
1. Penilaian
yang digunakan adalah sistem skoring, untuk pembentukan kecamatan baru terdiri
dari dua macam metode yaitu: (1) Metode Rata-rata, dan (2) Metode Kuota.
2. Metode
rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap calon kecamatan
dan kecamatan induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan kecamatan di
kabupaten/kota. Dalam hal terdapat kecamatan yang memiliki besaran/nilai
indikator yang sangat berbeda (di atas 5 kali dari besaran/nilai terendah),
maka besaran/nilai tersebut tidak diperhitungkan.
3. Metode
Kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota penentuan
skoring baik terhadap calon kecamatan maupun kecamatan induk.
Untuk daerah kabupaten, kuota jumlah penduduk kecamatan untuk
pembentukan kecamatan adalah 10 (sepuluh) kali rata-rata jumlah penduduk
desa/kelurahan seluruh kecamatan di kabupaten yang bersangkutan.
Untuk daerah kota, kuota jumlah penduduk kecamatan untuk
pembentukan kecamatan adalah 5 (lima) kali rata-rata jumlah penduduk
desa/kelurahan seluruh kecamatan di kota yang bersangkutan.
Semakin besar perolehan besaran/nilai calon kecamatan dan
kecamatan induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan kecamatan, maka
semakin besar skornya.
4. Setiap
indikator mempunyai skor dengan skala 1-5, dimana skor 5 masuk dalam kategori
sangat mampu, skor 4 kategori mampu, skor 3 kategori kurang mampu, skor 2
kategori tidak mampu dan skor 1 kategori sangat tidak mampu.
5. Pemberian skor 5 apabila
besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 80% besaran/nilai
rata-rata, pemberian skor 4 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau
sama dengan 60% besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 3 apabila besaran/nilai
indikator lebih besar atau sama dengan 40% besaran/nilai rata-rata, pemberian
skor 2 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 20%
besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 1 apabila besaran/nilai indikator
kurang dari 20% besaran/nilai rata-rata.
IV. PEMBOBOTAN
Setiap
faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuai dengan perannya
dalam pembentukan kecamatan.
1.
Bobot untuk masing-masing faktor
dan indikator:
No.
|
FAKTOR
DAN INDIKATOR
|
BOBOT
|
1.
|
Penduduk
|
20
|
|
1. Jumlah pendudk
|
20
|
2.
|
Luas daerah
|
10
|
|
1. Luas wilayah keseluruhan
|
5
|
|
2. Luas wilayah efektif yang dapat
dimanfaatkan
|
5
|
3.
|
Rentang Kendali
|
20
|
|
1.
Rata-rata jarak desa ke pusat pemerintahan kecamatan (ibukota kecamatan)
|
10
|
|
2. Rata-rata waktu perjalanan dari desa ke
pusat pemerintahan (ibukota kecamatan)
|
10
|
4.
|
Aktivitas
perekonomian
|
10
|
|
1. Jumlah bank
|
2
|
|
2. Jumlah lembaga keuangan bukan bank
|
2
|
|
3. Jumlah kelompok pertokoan
|
2
|
|
4. Jumlah pasar
|
4
|
5.
|
Ketersediaan
Sarana dan Prasarana
|
40
|
|
1. Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia
Sekolah Dasar
|
4
|
|
2. Rasio Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama per penduduk usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
|
4
|
|
3. Rasio Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas per penduduk usia Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
|
4
|
|
4. Rasio fasilitas
kesehatan per penduduk
|
4
|
|
5. Rasio tenaga medis
per penduduk
|
4
|
|
6. Persentase rumah
tangga yang mempunyai kendaraan
bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor
|
3
|
|
7. Persentase pelanggan
listrik terhadap jumlah rumah tangga
|
3
|
|
8. Rasio panjang jalan
terhadap jumlah kendaraan bermotor
|
3
|
|
9. Rasio sarana
peribadatan per penduduk
|
4
|
|
10. Rasio fasilitas lapangan olahraga per penduduk
|
3
|
|
11 .
Jumlah balai pertemuan
|
4
|
Total
|
100
|
2. Nilai
indikator adalah hasil perkalian skor dan bobot masing-masing indikator.
Kelulusan ditentukan oleh total nilai seluruh indikator dengan kategori:
Kategori
|
Total
Nilai Seluruh Indikator
|
Keterangan
|
||
Sangat
Mampu
|
420
|
s/d
|
500
|
Rekomendasi
|
Mampu
|
340
|
s/d
|
419
|
Rekomendasi
|
Kurang
Mampu
|
260
|
s/d
|
339
|
Ditolak
|
Tidak
mampu
|
180
|
s/d
|
259
|
Ditolak
|
Sangat Tidak Mampu
|
100
|
s/d
|
179
|
Ditolak
|
3. Suatu
calon kecamatan direkomendasikan menjadi kecamatan baru apabila calon kecamatan
dan kecamatan induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh
indikator dengan kategori sangat mampu (420-500) atau mampu (340-419).
4. Usulan
pembentukan kecamatan ditolak apabila calon kecamatan atau kecamatan induknya
(setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator dengan kategori
kurang mampu (260-339), tidak mampu (180-259) dan sangat tidak mampu (100-179),
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
0 komentar:
Posting Komentar